Refleksi Pembelajaran “Dari yang Membelenggu ke Pembebas Individu
Pendahuluan
Pemberlakuan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah menuntut para guru untuk
kreatif dalam menyusun kurikulum pembelajaran. Penerapan KTSP bermaksud agar
potensi dan keanekaragaman daerah dapat terakomodir dalam kurikulum
persekolahan.
Untuk itu,
seorang guru profesional tidak hanya dituntut memiliki kemampuan intelektual
tinggi, namun lebih penting adalah memiliki daya kreativitas tinggi. Tanpa
kreativitas pembelajaran akan kering, tidak berkualitas dan membosankan.
Harus
diakui bahwa kreatifitas guru merupakan faktor utama dalam proses pendidikan.
Walaupun fasilitas pendidikan lengkap dan canggih, bila tidak ditunjang oleh
keberadaan guru yang kreatif, maka mustahil akan menimbulkan proses
pembelajaran yang maksimal. Mengingat fasilitas pendidikan di Indonesia sangat
memprihatinkan, maka kreativitas patut dijadikan sebagai syarat bagi para calon
guru. Apalagi bagi guru-guru yang akan ditempatkan di daerah-daerah pelosok
sampai ke pedalaman. Guru tanpa kreativitas akan terbelenggu pada rutinitas
yang menjemukan dan berdampak kepada rendahnya kualitas pengajaran.
Refleksi
Proses Pembelajaran yang Membelenggu
Ada ungkapan yang menarik dari Emille Durkheim. Dia
melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yakni pendidikan
sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu. Letak daya tarik
dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama
ini kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas
individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya, sebagai pembelenggu.
Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa pendidikan bisa juga “berbahaya” bagi
kemandirian, kreativitas dan kebebasan siswa sebagai individu.
Dalam kaitannya dengan fungsi negatif yakni pendidikan
sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari model-model pembelajaran
yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika diadakan evaluasi, memang terdapat
gejala-gejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif
mengakibatkan daya kritis siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membahayakan
masa depan siswa. Sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah adalah
salah satu contohnya.
Dalam suatu kelas tidak jarang guru melempar suatu
pertanyaan yang harus dijawab siswa. Ada seorang siswa yang berani menjawab
pertanyaan dengan penuh keyakinan dan harapan mendapat simpati guru. Apa yang
terjadi justru di luar dugaan dengan jawaban itu teman-temannya di sekitar
tertawa sedang guru mengatakan, “itu salah mas. Saya heran gitu saja nggak
bisa”. Kasus ini adalah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu
belajar ternyata sulit. Keraguan tumbuh dalam dirinya, dan dia mulai menguragi
risiko sedikit demi sedikit, daripada merasa malu dan dipermalukan di hadapan
banyak temannya. Kesan negatif ini terus membayangi dalam perkembangan lantaran
komentar itu. Suasana seperti ini berbahaya bagi masa depan anak, mereka bisa
merasa tegang dan terbebani misalnya ketika disuruh belajar. Dinding-dinding
kelas dirasakan sebagai dinding-dinding penjara.
Model pembelajaran berikutnya yang dapat
membelenggu dan menindas siswa adalah pendidikan ”gaya bank”. Model ini ibarat
sebuah kegiatan menabung: para murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai
penbungnya. Ruang gerak yang disediakan bagi murid hanya terbatas pada
menerima, mencatat dan menyimpan. Semakin banyak murid yang meyimpan
tabungan, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritisnya.
Dalam pendidikan model ini, yang dibutuhkan bukan
pemahaman isi, tetapi sekedar hafal (memori). Bukan memahami teks, tetapi hanya
menghafal dan jika siswa telah melakukannya berarti siswa telah memenuhi
kewajibannya. Padahal hafalan hanya akan menumpuk pengetahuan dalam arti pasif.
Pembelajaran model bank ini telah menempatkan guru dan
siswa dalam posisi berhadap-hadapan. Guru sebagai subyek dan siswa sebagai
obyek, guru yang “menakdirkan” sedangkan siswa yang “ditakdirkan”, guru sebagai
peran dan siwa sebagai yang diperankan. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan
guru sebagai penindas sedang siswa sebagai tertindas. Peran yang kontras itu bisa
dikembangkan menjadi sebagai berikut.
- guru mengajar, murid diajar
- guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu
apa-apa
- guru berfikir, murid dipikirkan
- guru bercerita, murid patuh mendengarkan
- guru menentukan peraturan, murid diatur
- guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid
menyetujuinya
- guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melaui
perbuatan gurunya.
- guru
memiliki bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan
diri dengan pelajaran itu
- guru
mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, untuk
menghalangi kebebasan murid
- guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah
obyek belaka
Pengajaran model demikian ini memposisiskan guru sebagai
pihak yang ”menang” sedangkan siswa sebagai pihak yang “kalah”, suatu dikotomi
yang mestinya tidak layak terjadi mengingat pengajaran bukan proses pertandingan
sehingga ada yang menang dan ada yang kalah. Dengan istilah lain pengajar ini
terkadang disebut pengajaran model komando. Seorang komandan dalam militer
posisinya selalu diatas, memegang perintah yang harus ditaati.
Upaya pembelajaran yang ternyata berbalik membelenggu ini
tidak lepas begiitu saja-karena akibat demikian tidak pernah disadari guru penindas
tersebut selagi belum ada gugatan secara maksimal untuk mewujudkan pembelajaran
yang benar-benar demokratis sebagai kebutuhan pendidikan secara mendesak.
Guru Bosan Mengajar
Indikator kebosanan guru dapat dilihat dari keabsenan
guru-guru dalam waktu mengajar sekolah disertai alasan, berpura-pura dengan
alasan, yang sesungguhnya adalah terserang oleh rasa bosan selama proses pembelajaran. Kebosanan guru sering
terekspresi dalam bentuk kelesuan setiap kali harus menunaikan kewajiban dalam proses
pembelajaran. Meskipun bel tanda masuk telah berbunyi beberapa menit namun
masih banyak guru-guru yang ingin menyelesaikan gosip-gosip ringan sesama guru.
Malah ada sebagian guru yang sengaja hilir-mudik atau berpura kasak-kusuk dalam
mencari sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Sampai akhirnya selalu terlambat
tiba di kelas dan kemudian sengaja pula agak cepat untuk meninggalkan kelas.
Kebosanan dalam PBM bisa disebabkan oleh dua faktor,
yaitu faktor yang berasal dari guru dan faktor yang berasal dari murid. Pengabaian
kedua faktor ini akan menyebabkan masalah dalam PBM tidak teratasi. Untuk
memuluskan PBM maka kedua faktor ini harus dipahami dan diatasi.
Penyebab guru bosan, antara lain sebagai berikut. Pada
umumnya guru merasa enggan untuk memasuki kelas-kelas yang siswanya mempunyai
daya serap rendah atau bodoh. Gairah guru untuk mengajar kerap kali terpancing jika
di dalam kelas ada beberapa orang siswa yang cukup pintar.
Namun sejak keberadaan kelas unggul di setiap sekolah (misalnya kelas RSBI,
imersi, atau ICT) maka siswa-siswa yang memiliki daya serap tinggi
terkonsentrasi di dalam satu kelas saja. Pada sekolah yang terdapat kelas
terseleksi tersebut, gairah guru untuk melaksanakan PBM hanya lebih tertuju pada
kelas unggul. Sedangkan untuk kelas-kelas non unggul yang jumlahnya cukup
banyak dengan kemampuan siswa rendah terpaksa dimasuki oleh guru dengan rasa
lesu dan letih. Namun memang tidak semua guru menunjukkan gejala yang demikian.
Muncul pertanyaan yang urgen di sini, mengapa siswa pada
umumnya memiliki kemampuan rendah? Penyebab melempemnya daya serap siswa di
sekolah adalah karena mereka tidak terbiasa dengan budaya membaca dan belajar
mandiri sehingga mereka lambat dalam menganalisis.
Kebiasaan dalam belajar cuma menghafal melulu. Dapat
diamati bahwa siswa yang telah terbiasa dalam budaya membaca tidak mengalami
kesulitan dalam PBM. Tidak banyak siswa yang terbiasa dengan budaya membaca
sehingga akibatnya adalah tidak banyak pula siswa yang memiliki daya serap
tinggi.
Kejenuhan mengajar, selain disebabkan oleh faktor murid,
faktor yang datang dari guru juga cukup bervariasi. Dulu menjadi guru memang
serba dihormati dan sangat menyenangkan. Tetapi belakangan ini, dalam kehidupan
yang serba hedonis dan materialis ini, guru terlalu banyak korban perasaan.
Terlebih lagi semenjak profesi guru dipandang tidak terlalu terhormat
disebabkan kebersahajaan yang melingkupinya.
Kalau kondisi terus berlarut seperti itu, menjadi
pemandangan jamak, jika setiap hari banyak terdengar keluhan guru. Ada yang
mengeluhkan badan kurang enak karena sakit gigi, sakit kepala, masuk angin, perut
terasa kembung atau badan terasa pegal-pegal dimana ini semua ”judulnya” bosan.
Mereka bosan untuk menunaikan tanggung jawab.
Kreatif versus Bosan
Penyebab rasa bosan ini adalah karena pada umumnya
guru-guru kurang kreatif sehingga mereka jarang yang menjadi guru profesional.
Memang secara umum guru-guru terlihat kurang kreatif, meskipun sebagian kecil
tentu ada yang kreatif. Rata-rata guru menerapkan peranan tradisional dalam
mengajar. Mereka masih berfilsafat bahwa guru masih sebagai sumber ilmu dan
dalam penguasaan ilmu siswa harus menyalin catatan guru dan menghafalkannya
tanpa melupakan titik dan komanya sekalipun. Penanganan masalah yang ditemui
selama PBM pun juga secara tradisional. Kalau murid bersalah musti diberi
nasehat dan kebanyakan sistem pemberian nasehat dalam bentuk komunikasi satu
arah, dimana yang sering terlihat ketika guru bertutur kata adalah siswa
menekur atau tidak boleh menjawab. Tetapi sekarang entah guru-guru banyak yang
tidak bertuah dalam bertutur kata karena kesempitan ilmu dan wawasannya atau
karena apresiasi murid terhadap guru kian berkurang maka sekarang seakan jurang
komunikasi kian melebar.
Kreativitas guru pun terlihat lemah dalam PBM. Guru tidak
tertarik memperbaharui metode mengajarnya dengan model-model pengajaran yang
efektif, yang bisa menghidupkan suasana kelas dan menyenangkan. Model-model pembelajaran
seperti Examples non Examples, Picture
and Pictur, Numbered Heads Together, Cooperative Script, Student
Teams-Achievement Divisions (STAD), Mind Mapping, Make – a Match, Think Pair
and Share, dan lain-lain tidak pernah dicobanya. Presentasi pengajaran
sudah terlihat semakin basi karena menggunakan metode yang itu ke itu juga.
Gema hasil mengikuti penataran, apakah dalam bentuk MGMP, Bintek (bimbingan
teknis) dianggap sepidan angin lalu saja. Kecuali yang terlihat, setelah guru
mengikuti MGMP, penataran dsb, hanya semakin tertib dalam menulis silabus dan
RPP namun pengaplikasiannya tidak diperbaharui.
Namun begitu, diantara guru-guru yang belum mampu
memperlihatkan kreativitas, ada juga guru-guru yang kreatif. Meski mengajar
banyak, namun karena kreatif mereka tetap tampak ceria dan segar dalam
mengajar.
Kreatifitas guru, sangat ditentukan oleh keleluasaan dan kedalaman pengetahuan
dan wawasan. Oleh sebab itu menjadi guru ideal haruslah selalu membiasakan
untuk membelajarkan diri. Adalah sangat tepat bila seorang guru selain memahami
bidang studinya juga mendalami pengetahuan umum lainnya sebagai khazanah
dirinya. Guru yang luas wawasan dan ilmu pengetahuannya tidak akan pernah
kehabisan bahan dalam proses belajar mengajar. Kalau sekarang ada ungkapan yang
mengatakan bahwa mengajar itu adalah seni, maka mustahillah guru yang kering
akan ilmu dan sempit wawasan dapat mengaplikasikannya sebagai seni.
Mengikuti program penyegaran dalam bentuk kegiatan penataran,
musyawarah kerja, dan program peningkatan kualitas adalah sangat tepat. Sayang
selama ini terlihat kegiatan-kegiatan penyegaran yang ada belum dikemas secara
profesional. Dengan arti kata selama mengikuti program penyegaran, guru-guru
hanya terlihat secara pasif dan paling kurang bertindak sebagai pendengar
abadi. Itulah dampaknya setiap kali seorang guru selesai mengikuti MGMP dan
penataran lain, misalnya, seolah-olah tidak membawa perubahan dalam proses
belajar mengajar. Terasa seakan-akan apa yang diperoleh selama mengikuti
penataran-penataran digambarkan dengan sebagai angin lalu saja.
Melatih diri untuk meningkatkan kemampuan berbahasa dalam
bentuk berpidato atau berceramah untuk masyarakat dan menyempatkan diri untuk
menulis artikel-artikel adalah bentuk lain dari pengembangan kreativitas guru.
Mendalami psikologi remaja sehingga guru dapat memahami meningkatkan
kreativitas guru dalam bertindak.
Jadi guru yang kreatif adalah guru yang kaya akan ide-ide
dan menerapkan bentuk nyata. Dalam realita tampak bahwa kreativitas dapat
mengatasi rasa bosan.
Proses Pembelajaran Demokratis
Sebagai upaya untuk keluar dari pembelajaran yang
membelenggu seperti terurai pada bagian awal makalah ini, menuju pada
pembelajaran yang membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dada dari
guru untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa guna
mengekspresikan gagasan dan pikirannya Pendekatan yang membebaskan merupakan
proses di mana pendidikan mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan
kehidupan yang nyata secara kritis. Dalam pendidikan yang membebaskan ini tidak
ada subjek yang membebaskan atau objek yang dibebaskan karena tidak ada
dikotomi antara subjek dan objek. Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek
sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take
and give (menerima dan memberi). Hanya saja jika guru sebagai pembelajar
senior, maka siswa sebagai pembelajar junior, jadi tetap ada perbedaan
pengalaman dan karena perbedaan inilah sehingga guru tetap lebih banyak memberi
kepada siswa dari pada siswa memberi kepada guru. Tetapi pemberian guru kepada
siswa itu sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan agar siswa berkreasi
sendiri.
Aliran ini sesungguhnya telah berpandangan progresif.
Peran siswa telah dimaksimalkan jauh melebihi peran-peran tradisionalnya dalam
himpitan pengajaran model gaya komando. Upaya memaksimalkan peran siswa ini
sebagai bentuk riil dari misi pembebasan siswa dari keterbelengguan akibat
penindasan guru. Melalui pembebasan ini, diharapkan siswa memiliki kemandirian yang
tinggi dalam memberdyakan potersi yang dimiliki untuk berpendapat, bersikap dan
berkreasi sendiri.
Oleh karena itu, mesti ada dialog. “ciri aksi budaya yang
meperjuangkan kebebasan adalah dialog, sedangkan yang mengarah pada dominasi
justru anti dialog dan mendomistifikasikan rakyat. Tangung jawab guru yang
menempatkan diri sebagai teman dialog bagi siswa lebih besar dari pada guru
yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat siswa. Sebab guru sedang
memupuk sikap keberanian, sikap kritis, dan sikap toleran terhadap pandangan
yang berbeda bahkan bertentangan sekalipun, melalui tradisi saling tukar
pandangan dalam menyiapkan suatu masalah.
Tradisi dialogis ini sebagai salah satu bentuk suasana
yang mendukung pembelajaran demokratis, yaitu suasana yang melibatkan para
siswa dalam proses pembelajaran secara maksimal dengan memperhatikan sepenuhnya
terhadap inisiatif, pemikiran, gagasan, ide, kreativitas, dan karya siswa.
Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi subjek dalam proses pembelajaran.
Mengingat pentingnya dialog ini, maka pemerintah
mengamanatkan melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan
sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pendidik dan tenaga kependidikan.
Amanat itu terdapat pada pasal 40 ayat 2. Isi dari pasal tersebut adalah: Pendidikan
dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang
bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis.
Ditengarai, salah satu sebab terpenting mutu pendidikan
nasional yang rendah saat ini adalah karena pendidikan, terutama pendidikan
dasar, selama tiga dekade terakhir tidak disajikan oleh guru yang profesional. Lembaga
pendidikan yang bernama IKIP pada dekade 80an meredup. Lulusan SMA merasa
gengsi masuk IKIP sekalipun negeri. Mereka merasa lebih prestise (hebat) memilih jurusan non kependidikan di PTS. Alhasil,
guru direkrut bukan dari kelompok masyarakat yang terbaik; mereka yang bintang
kelas hampir-hampir tidak bersedia menjadikan guru sebagai profesi mereka.
Dalam kata lain, pendidikan telah dilakukan oleh para amatir.
UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen dimaksudkan untuk
secara struktural memperbaiki kondisi keterpurukan guru.
Sebuah profesi seharusnya adalah sebuah panggilan jiwa
yang diwujudkan dalam karya pelayanan oleh sekelompok orang yang memiliki
kualifikasi yang tinggi untuk melaksanakan kerja yang khusus, yang diperoleh
melalui pendidikan dan pelatihan yang tuntas serta pengalaman yang penuh
tanggungjawab, dan karena kemuliaan profesi ini mereka yang tidak memenuhi syarat
tidak dapat diterima sebagai rekan seprofesi. Menjadi anggota sebuah profesi
dengan demikian adalah sebuah kontrak untuk melayani masyarakat, melampaui
semua bentuk kewajiban kepada klien atau majikan, sebagai imbalan atas
keistimewaaan perlakuan masyarakat kepada profesi tersebut.
Merubah Mindset
Profesi guru sebagaimana profesi lainnya, membutuhkan
sebuah proses aktualisasi terhadap metode serta pengetahuan baru. Caranya bisa bermacam-macam,
dari berbicara mengenai profesionalitas dengan rekan sejawat, membaca buku
kemudian mempresentasikannya di depan teman-teman guru, sampai hadir di dalam
sebuah pelatihan serta seminar yang diadakan di ruang-ruang kelas, hingga
hotel-hotel mewah. Seminar atau pelatihan tersebut biasanya diadakan saat hari
aktif, dengan demikian guru harus meninggalkan kelas dan siswa yang diajarnya.
Waktu penyelenggaraan acara tersebut terkadang juga diadakan pada saat hari
libur bahkan hari minggu, ini menyebabkan berkurangnya waktu leisure bersama keluarga.
Dari gambaran di atas bisa dilihat bahwa upaya untuk
menambah pengetahuan, menambah metode baru dalam dunia profesi guru membutuhkan
pengorbanan serta waktu dan biaya yang tidak sedikit. Dengan demikian
pengorbanan tersebut harus mempunyai akibat yang signifikan dengan cara mengajar
guru di kelas. Kualitas seorang guru yang sudah mengikuti sebuah pelatihan atau
seminar bisa dilihat dari cara mengajarnya di kelas.
Untuk membuat sebuah seminar atau pelatihan menjadi ”virus
perubahan” bagi cara guru membelajarkan siswa di kelas, dibutuhkan sebuah mindset terhadap kegiatan dari pelatihan
dan pembinaan guru yang akan diikutinya itu.
Apabila anda seorang guru ditugasi untuk mengikuti sebuah
seminar atau pelatihan guru;
1.
Bersikaplah untuk menjadi orang yang amanah (ikhlas) dan berkomitmen
untuk menyebarkan ”virus perubahan” saat anda dipilih oleh lembaga anda untuk
hadir dalam sebuah seminar atau pelatihan
2.
Apabila berkesempatan mendapatkan dokumen presentasi dari
penyaji letakkanlah di dalam folder yang mudah diakses kembali, atau dicetak dan
di tempel di ruang guru atau ditempat yang gampang dilihat
3.
Carilah bahan pengetahuan dari media massa atau internet
mengenai topik pelatihan yang akan anda hadiri, untuk menambah wacana dan rasa
percaya diri, sehingga membantu anda untuk tetap fokus dan bersemangat dalam
seminar yang diikuti.
Pembelajaran
Inovatif
Pembelajaran inovatif adalah proses interaksi
yang pro-perubahan antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. Pembelajaran yang pro-perubahan adalah pembelajaran
yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya imajinasi, kreasi, inovasi,
nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi untuk menemukan
kemungkinan-kemungkinan baru, dan yang tidak tertambat pada tradisi dan
kebiasaan pembelajaran yang lebih mementingkan memorisasi dan recall
Karakteristik
pembelajaran inovatif:
1. mendorong keingintahuan,
2. keterbukaan pada kemungkinan-kemungkinan baru,
3. prioritas pada fasilitasi kemerdekaan dan
kreativitas dalam mencari jawaban atau pengetahuan baru (meskipun jawaban itu
salah atau pengetahuan baru dimaksud belum dapat digunakan,
4. pendekatan yang diwarnai oleh eksperimentasi untuk
menemukan kemungki nan kemungkinan baru, dan
5. ada mekanisme apresiasi prestasi.
Tujuan
Utama Pembelajaran Inovatif
Tujuan utama pembelajaran inovatif adalah untuk
memberdayakan potensi peserta didik agar mampu menumbuhkan daya imajinasi,
kreasi, inovasi, nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasinya untuk
menemukan hal-hal baru. Tujuan ini mensyaratkan bahwa pendidik harus lebih
demokratis/egaliter dan mampu membebaskan peserta didik dari tekanan-tekanan
kejiwaan.
Penutup
Sebagai kalimat penutup, guru yang profesional
dapat diartikan sebagai guru yang dapat mengembangkan kecerdasan emosinya dan
spiritualnya, dapat mengembangkan kreatifitas dalam pembelajaran, guru yang
mampu memilih metode pembelajaran efektif untuk diimplementasikan pada SBM, guru
yang dapat mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang, dan guru yang
dapat meningkatkan kualitas dirinya dan kualitas peserta didiknya.
Yang terakhir dan tidak kurang pentingnya menjadi
guru adalah suatu profesi dimana terdapat tanggungjawab atas diri sendirinya
sendiri, kepada orang lain, lingkungan, dan yang paling penting adalah tanggung
jawab kepada Alloh Subhanahu Wata’ala.
DAFTAR BACAAN
Danim,
Sudarwan , Agenda Pembaruan Sistem
Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Freire, Paulo, Politik Pendidikan dan Kebudayaan,
Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dengan ead,
2002).
Marjohan
dalam bloger marjohanusman@yahoo.com
Slamet,
Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: presentasi.
Tilaar,
H. A. R., Paradigma Baru PendidikanNasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000)
Tuhusetya,
Sawali, berbagai artikel. Bloger.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Komentar
Posting Komentar